Umsida.ac.id – Kelompok 17 Kuliah Kerja Nyata Pencerahan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (KKNP UMSIDA) ikut serta dalam upacara entas-entas yang dilakukan di rumah warga sekitar pada hari selasa (04/02/2025).
Berbicara tentang Kebudayaan yang ada di Indonesia tidak akan pernah ada habisnya. Seperti masyarakat tengger yang mendiami Kawasan sekitar lereng gunung bromo yang memiliki berbagai tradisi adat yang unik dan sakral, salah satunya adalah tradisi entas-entas.
MAKNA DAN TUJUAN UPACARA ENTAS-ENTAS
Kata Entas-entas berasal dari bahasa jawa, yaitu “Entas” yang artinya mengambil, mengangkat dan menghilangkan. Pemakaianya dalam kalimat bisa berarti mengambil barang/sesuatu yang tadinya dijemur atau direbus, karena sudah kering atau sudah saatnya diambil oleh pemiliknya. Upacara Entas-entas secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu proses perjalanan roh (atman) dari seseorang yang sudah meninggal untuk diambil dan diangkat serta dijauhkan agar terhindar dari lingkaran atau siklus punarbhawa. Proses ini diharapkan akan dapat mengembalikan atman kepada asalnya (Sangkan Paraning Dumadi) yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Atman menyatu dengan Paramatman terlepas dari siklus atau lingkaran punarbhawa (lahir berulang kali kedunia).
Ini berarti bahwa upacara Entas-entas adalah sebuah upaya yang memanfaatkan kesempatan bagi sang roh untuk menuju kelepasan abadi, yaitu Moksa. Tentunya ini adalah suatu harapan namun diyakini oleh umat Hindu etnis Tengger sebagai warisan leluhur bahwa inilah jalan menuju kebahagiaan abadi. (Media Hindu edisi 34, 2006:14)
Upacara Entas-Entas merupakan upacara sakral dimana arwah atau atman orang yang telah meninggal diangkat, disucikan, adat di Jawa disebut nyewu atau seribu hari. Upacara dipimpin oleh dukun Pandhita, sedang persiapan dibantu legen dan wong sepuh dalam menyiapkan segala berkaitan bahan ritual. Menurut dukun pandhita upacara Entas-entas merupakan “ngasi makan wong tuek” upacara selamatan terakhir orang yang meninggal dimaksudkan menyempurnakan atman leluhur masuk ke alam kelanggengan atau nirwana.
PROSESI UPACARA ENTAS-ENTAS
Upacara Entas-Entas biasanya dipimpin oleh seorang dukun Tengger yang bertindak sebagai pemimpin spiritual. Dukun Pandhita mengatatakan bahwa “upacara Entas-Entas tidak ditentukan oleh hari-hari tertentu melainkan dilaksanakan sesuai dengan orang yang mempunyai hajatan, bisa juga meminta pendapat kepada dukun untuk mencari hari yang baik,”
Prosesi ini diawali dengan persiapan meliputi resik atau andeg-andeg, sedekah, andeg-andeg klakah, menduduk, kayopan agung, nglukat dan wayon yang berlangsung sampai 3 hari serta dilengkapi dengan peralatan upacara seperti pakaian adat dukun, prasen, perapen. Ritual Entas-entas diawali pembuatan petra oleh wong sepuh dengan susunan daun pampung (Unanthe javanica) dimaksudkan tempat duduk atau lemek, bunga senikir (Tagetes erecta) untuk menyingkirkan roh jahat, bunga tanalayu (Anaphalis longifolia) agar roh diterima Sang Hyang Widi, tusuk bambu (Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus) melambangkan tulang, tali bambu agar tidak lepas sebagai otot, alang- alang (Imperata cylindrica) dan diberi pakaian, cepel (kuali) dilabangkan kawah dan cowek simbul lautan pasir gunung Bromo. Jumlah petra dan sesajen yang dimantra sesuai jumlah arwah yang akan dientas diundang disebut andeg-andeg klakah. Menduduk merupakan rangkaian acara ritual adat Entas-entas menggunakan korban kambing (capra aegagrus), sapi (Bos taurus) dimaksudkan sebagai tunggangan atman. Acara puncaknya disebut nglukat atau gubahan klakah merupakan upacara pencucian atman yang dientas, pada akhirnya kegiatan ritual, petra dibakar di pedanyangan oleh wong sepuh, dukun Pandhita menutup dengan upacara wayon.
Menurut dukun Pandhita Supayadi dan dukun Pandhita Natrulin setiap jenis tumbuhan dan hewan yang dipergunakan sajen mempunyai makna, jenis bunga dapat diambil di lingkungan mereka sebagian dari luar Tengger, namun jika tidak ada dapat digantikan jenis bunga lain seperti maribang (Hibiscus rosasinensis), kana (Canna hybrida), anting-anting (Fuchsia hybrida) atau jenis lain di lingkungan Tengger. Jenis kue atau makanan yang tidak ketinggalan untuk sajen meliputi telur ayam, pasung, jadah, jenang, pepes, wajik, sate, minuman. Keanekaragaman hayati merupakan sumber daya alam mempunyai makna dalam mempertahankan adat budaya adiluhung merupakan warisan leluhur dalam memberikan nilai jati diri kebudayaan serta keseimbangan, salah satu bentuk kearifan lokal suku Tengger.
WARISAN BUDAYA YANG TERUS DIJAGA
Masyarakat Tengger dikenal dengan tradisi gotong royong yang sangat kuat, yang tercermin dalam berbagai prosesi adat mereka, termasuk dalam tradisi Entas-Entas. Dalam setiap acara, warga Tengger saling membantu tanpa pamrih, mulai dari persiapan sesaji, pembangunan fasilitas, hingga pelaksanaan ritual keagamaan.
“Biyodo (perempuan) dan jinoman (laki_laki) adalah istilah untuk warga yang membantu dalam acara seperti membantu untuk menata nasi, lauk pauk, menata jajanan untuk ditaruk dimeja-meja”. Pak Inggih (Kepala Desa).
Sebagai bagian dari adat istiadat Suku Tengger, Entas-Entas masih terus dipertahankan hingga saat ini. Meskipun zaman terus berkembang, masyarakat Tengger tetap menjunjung tinggi nilai-nilai leluhur mereka. Upacara ini tidak hanya menjadi bentuk penghormatan terhadap orang yang telah meninggal, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dalam komunitas Tengger.
Dengan terus melestarikan tradisi seperti Entas-Entas, Suku Tengger menunjukkan bahwa adat dan budaya mereka tetap hidup serta menjadi bagian penting dari identitas mereka di tengah arus modernisasi
penulis: faradiba